Dalam sebuah diskusi seorang dosen senior dengan sedih mengatakan bahwa saat ini para guru telah kehilangan idealismenya. Para guru telah terjebak pada pragmatisme dan tidak lagi memiliki spirit perjuangan sebagaimana para guru di zaman lampau.
“Oh, tidak. Itu karena Anda belum bertemu dengan para guru IGI.” Kata saya.
“Guru IGI…?! Apa itu IGI…?!” tanyanya dengan penuh rasa ingin tahu.
Hampir setiap saat para guru IGI ditanya apa beda IGI dan PGRI. Saya selalu menjawab, “ Mau yang singkat atau yang panjang? Kalau yang singkat bedanya adalah PGRI hanya punya satu ‘I’ sedangkan IGI punya dua ‘I’.
Tapi kalau mau yang panjang ada beberapa versi.
Salah satu perbedaan yang saya sampaikan adalah bahwa IGI itu sama dengan IDI (Ikatan Dokter Indonesia). IDI itu organisasi profesi yang tentu saja para anggota dan pengurusnya adalah dokter semua. IDI tentu saja tidak menerima bidan dan perawat untuk menjadi anggotanya. Lagipula bidan dan perawat tentu punya organisasi profesinya sendiri. Begitu juga dengan IGI. Di IGI semua anggota dan pengurusnya adalah para guru. PGRI justru pengurusnya mayoritas bukanlah para guru itu sendiri. Pengurus PGRI hampir semuanya adalah para pejabat di lingkup dinas pendidikan, dosen, dan bahkan ada yang tidak sama sekali berhubungan dengan pendidikan dan sekedar pejabat di pemda.
Karena di IGI semua pengurus dan anggotanya adalah guru maka mereka tahu benar apa yang mereka butuhkan dan harus lakukan untuk menjadikan mereka sebagai guru-guru professional. Mereka adalah tuan di rumah mereka sendiri. Pengurus di organisasi mereka sendiri.
Selama ini kami di IGI selalu menekankan bahwa ‘nothing is impossible’ dan kita bisa melakukan hal-hal yang dianggap orang tidak mungkin. Saya sendiri tidak pernah peduli pada apa penilaian orang pada apa yang kami lakukan di IGI karena seperti kata Nelson Mandela ‘It always seems impossible until it’s done’, selamanya sesuatu itu tampak tidak mungkin sampai kita berhasil melakukannya. Saya sendiri sering diolok-olok oleh teman-teman di IGI punya kegemaran ‘mengecat langit’. Setiap kali mengusulkan sesuatu yang ‘seems impossible’ mereka selalu bilang saya mulai ‘mengecat langit’. Why not…?! Mau minta langit dicat warna apa?
Saya ingat sekali betapa IGI di awal berdirinya diolok-olok oleh teman-teman di PGRI karena kami tidak mengenakan iuran bulanan atau apa pun kepada setiap anggotanya. Anggota IGI hanya membayar uang pendaftaran dan pembuatan kartu anggota sekali seumur hidup yang sangat murah. Tak ada iuran anggota sebagaimana organisasi lain. Toh kami semua bermimpi besar untuk mengubah dunia pendidikan Indonesia dengan mengubah mindset para gurunya. Kami sama sekali tidak melihat apa pun hambatan dan halangan untuk itu. Kami hanya melihat kemungkinan dan kemungkinan dan membuatnya menjadi kenyataan. Strange but true.
Bahkan Kemendikbud tidak bisa melakukan ini. Swear…! Ini belum bicara tentang hambatan, tantangan, dan berbagai ancaman yang diterima oleh para anggota IGI di banyak daerah dalam menggerakkan organisasinya yang sampai hari ini masih berlangsung dengan massif. Still they achieve the success they deserve. Ini semua spektakuler. Are you surprised? Me, too.
Ketua Umum IGI saat ini Daeng Ramli Rahim benar-benar bertiwikrama menjadi Arjuna Sasrabahu.
Saya kagum pada Jokowi yang berhasil membangun begitu banyak di masa kepemerintahannya yang singkat. Tentu saja itu semua dengan mengerahkan semua kekuasaan, dana, dan potensi bangsa. Kalau perlu pinjam dari negara lain. Di sisi lain IGI melakukan semua prestasinya tanpa dana, kekuasaan, atau pun nama besar yang bisa menggoncangkan gunung atau pun menggerakkan pena menuliskan angka. Kalau pun ada nama besar yang bisa disebut maka itu adalah Prof Indra Djati Sidi, Dr. Gatot Hari Prijowirjanto, dan Opung Bagiono Sumbogo yang sejak awal mengawal dan menemani para guru untuk bergerak dan berubah menjadi raksasa seperti sekarang ini.
IGI telah berhasil membuktikan bahwa Guru Indonesia, yang dilihat dengan begitu skeptis dan pesimis pada jebloknya nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) mereka yang rata-rata secara nasional hanya 53,02 (di bawah target pemerintah) pada UKG 2015, atau pun pada hasil tes PISA siswanya, ternyata bisa melakukan banyak hal jika kita memunculkan kepercayaan diri mereka bahwa mereka bisa melakukan banyak hal yang mungkin selama ini disugestikan pada mereka bahwa mereka tidak bisa. Mereka bisa…! IGI sudah membuktikannya.
Oleh Bapak Satria Darma, Founder IGI, Ketum IGI Pertama
Saya kagum pada Jokowi yang berhasil membangun begitu banyak di masa kepemerintahannya yang singkat. Tentu saja itu semua dengan mengerahkan semua kekuasaan, dana, dan potensi bangsa. Kalau perlu pinjam dari negara lain. Di sisi lain IGI melakukan semua prestasinya tanpa dana, kekuasaan, atau pun nama besar yang bisa menggoncangkan gunung atau pun menggerakkan pena menuliskan angka. Kalau pun ada nama besar yang bisa disebut maka itu adalah Prof Indra Djati Sidi, Dr. Gatot Hari Prijowirjanto, dan Opung Bagiono Sumbogo yang sejak awal mengawal dan menemani para guru untuk bergerak dan berubah menjadi raksasa seperti sekarang ini.
IGI telah berhasil membuktikan bahwa Guru Indonesia, yang dilihat dengan begitu skeptis dan pesimis pada jebloknya nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) mereka yang rata-rata secara nasional hanya 53,02 (di bawah target pemerintah) pada UKG 2015, atau pun pada hasil tes PISA siswanya, ternyata bisa melakukan banyak hal jika kita memunculkan kepercayaan diri mereka bahwa mereka bisa melakukan banyak hal yang mungkin selama ini disugestikan pada mereka bahwa mereka tidak bisa. Mereka bisa…! IGI sudah membuktikannya.
Oleh Bapak Satria Darma, Founder IGI, Ketum IGI Pertama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar