(pernah
dimuat di kolom budaya, harian Fajar Makassar)
Sundalak atau sundala’ merupakan ungkapan berkonotasi kasar yang kerap didengar di berbagai sudut kota Daeng Makassar. Di pinggir jalan, di pasar, bahkan
di pusat-pusat keilmuan seperti sekolah dan universitas. Saya yakin, beberapa dari kita pernah mendengar kata itu secara langsung, maka memahami apa artinya
dan menakar seberapa kasar maknanya bukanlah perkara yang sulit.
Sundala’ adalah morfem (kata) yang konon diserap dari kosakata bahasa Indonesia “sundal” yang berarti perempuan jalang atau pelacur. Ada juga yang mengartikannya
sebagai anak haram.
Namun, sampai saat ini belum ada sumber yang jelas tentang siapa “dalang” dari penyebaran kata umpatan ini. Tapi jika ditelusuri dari speech community
yang mempopulerkannya, ternyata ia menjadi prokem atau bahasa gaul dalam komunitas waria alias bencong.
Di tahun 1990, fenomenon waria menarik perhatian seorang Debby Sahertian. Ketika itu, komunitas waria dan anak jalanan di belantara Jakarta memiliki bahasa
sandi tersendiri agar mereka bisa seenaknya mengumbar kata-kata cabul tanpa dimengerti artinya oleh petugas berwajib. Artis Debby Sahertian kemudian menyusun
kamus bahasa gaul. Beberapa kosakatanya yang sering kita dengar adalah do’i untuk dia, macan tutul untuk macet total, Eke untuk aku, dan masih banyak lagi.
Untuk kata sundala, entah komunitas waria yang menjadikannya bahan calla diantara mereka ada kaitan langsung dengan waria di Jakarta ketika itu.
Pada perkembangan selanjutnya, sundala tidak lagi terisolasi di kalangan waria sebagai bahan canda dan makian antara mereka, namun juga telah menjadi ekspresi
kemarahan saat seseorang hendak beradu fisik, emosi, atau baru saja ditimpa sial. Semisal kecurian. Sang korban akan menumpahkan emosinya dengan menyemprotkan
kata itu pada si pencuri —walau dia tahu sang pencuri tak mungkin mendengar kata itu.
Namun seiring waktu, kata itu menjadi trend ditengah laju budaya “bebas memilih”. Kesopan-santunan digilas, siri’ yang menjadi falsafah hidup orang Bugis-Makassar
pun akhirnya kian terpinggirkan. Tukang becak, anak jalanan, anak sekolah, bahkan orangtua, semuanya menyatu dalam kemunduran nilai itu.
Yang menarik, meski penuturnya tahu arti kata tersebut, mereka tak sedikitpun canggung mengucapkannya di depan rekan-rekan ketika sedang berbaur dalam
canda. Dalam esai ini, Sundala’ tak ditelaah dari segi kesopanan tindak tutur, melainkan sebagai fenomenon unik di tengah stigma orang Mangkasarak yang
konon kasar—meski sebenarnya tak demikian.
Bersama dengan suntili’ dan sikulu’, sundala secara instan menjatuhkan harga diri pelakunya dan orang yang dituju. Ketika kata itu diucapkan, pada hakikatnya
subjek dan objek tuturan itu sama-sama jatuh harga dirinya sebagai manusia. DR. H.M. Laica Marzuki, S.H. dalam bukunya Siri’, menegaskan bahwa siri’ menjadi
etik pembeda antara manusia dan binatang. Binatang tak punya siri’ (malu) dan akal, sementara manusia memiliki keduanya, bahkan kemampuaan untuk merawat
dan mempertahankan kehormatannya.
Andaikata seseorang sudah dipakasiri’ (dipermalukan), maka dalam kepercayaan kita orang Bugis-Makassar, pelakunya sah ditumpahkan darahnya lewat hunusan
sebilah badik. Siri’ mewajibkan adanya tindak terhadap penyebab rasa malu, sepadan dengan tingkat rasa malu yang ditimbulkan walaupun tindakan itu biasanya
diasumsikan sebagai suatu kejahatan kriminal.
Bersama siri’ itu, kita juga mengenal istilah sipakainge’ sipakalebbi’, dan sipakatau. Masing-masing berarti saling mengingatkan, saling menghormati, dan
saling memanusiakan. Pada kenyataannya, nilai-nilai luhur ini semakin luntur dari nuansa kearifan lokal (local genious) kita.
Adalah menarik melihat pergeseran nilai itu di keseharian kita. Umpatan sundala’ tidak dibalas dengan badik melainkan dijawab dengan serapah serupa dan
diikuti gelagak tawa. Sungguh aneh.
Sebagaimana lumrah diketahui, tawa menjadi representasi kegembiraan atau suasana hati yang riang. Oleh karenanya, dalam kasus di atas, sundala’ telah melepaskan
diri dari maknanya. Sundala’ secara sosial telah beralih fungsi menjadi nomenklatur perekat ikatan dan penanda keakraban di antara kerumunan manusia yang
terlibat konteksnya.
Dengan keberadaan kata sundala’ di antara mereka, yang terjadi bukanlah keretakan sosial melainkan yang sebaliknya, kerekatan sosial. Kini, penggunaan
kata itu telah menjadi budaya tersendiri sehingga mustahil untuk dihilangkan. Kita tak bisa lagi berharap lebih jauh selain menghadirkan budaya yang bisa
menandinginya (counter culture) suatu hari nanti.
Namun satu sisi positif yang dapat ditarik dari pergeseran budaya ini adalah bahwa sundala’ tidak menambah kekacauan dan kekerasan horizontal yang nampak
begitu menyatu dengan keseharian kita. Kata ini maknanya sudah “dijinakkan”, dan dalam beberapa hal telah menjadi peredam konflik antar orang per orang
yang saling mengenal baik.
Di momen-momen peringatan hari bahasa yang jatuh pada bulan ini, setidak-tidaknya kita bisa lebih kritis dalam memaknai kebhinekaan. Jika ungkapan bermakna
buruk saja bisa meruangkan kebersamaan, bagaimana dengan bahasa-bahasa yang baik dan jauh lebih sopan?
Sundalak atau sundala’ merupakan ungkapan berkonotasi kasar yang kerap didengar di berbagai sudut kota Daeng Makassar. Di pinggir jalan, di pasar, bahkan
di pusat-pusat keilmuan seperti sekolah dan universitas. Saya yakin, beberapa dari kita pernah mendengar kata itu secara langsung, maka memahami apa artinya
dan menakar seberapa kasar maknanya bukanlah perkara yang sulit.
Sundala’ adalah morfem (kata) yang konon diserap dari kosakata bahasa Indonesia “sundal” yang berarti perempuan jalang atau pelacur. Ada juga yang mengartikannya
sebagai anak haram.
Namun, sampai saat ini belum ada sumber yang jelas tentang siapa “dalang” dari penyebaran kata umpatan ini. Tapi jika ditelusuri dari speech community
yang mempopulerkannya, ternyata ia menjadi prokem atau bahasa gaul dalam komunitas waria alias bencong.
Di tahun 1990, fenomenon waria menarik perhatian seorang Debby Sahertian. Ketika itu, komunitas waria dan anak jalanan di belantara Jakarta memiliki bahasa
sandi tersendiri agar mereka bisa seenaknya mengumbar kata-kata cabul tanpa dimengerti artinya oleh petugas berwajib. Artis Debby Sahertian kemudian menyusun
kamus bahasa gaul. Beberapa kosakatanya yang sering kita dengar adalah do’i untuk dia, macan tutul untuk macet total, Eke untuk aku, dan masih banyak lagi.
Untuk kata sundala, entah komunitas waria yang menjadikannya bahan calla diantara mereka ada kaitan langsung dengan waria di Jakarta ketika itu.
Pada perkembangan selanjutnya, sundala tidak lagi terisolasi di kalangan waria sebagai bahan canda dan makian antara mereka, namun juga telah menjadi ekspresi
kemarahan saat seseorang hendak beradu fisik, emosi, atau baru saja ditimpa sial. Semisal kecurian. Sang korban akan menumpahkan emosinya dengan menyemprotkan
kata itu pada si pencuri —walau dia tahu sang pencuri tak mungkin mendengar kata itu.
Namun seiring waktu, kata itu menjadi trend ditengah laju budaya “bebas memilih”. Kesopan-santunan digilas, siri’ yang menjadi falsafah hidup orang Bugis-Makassar
pun akhirnya kian terpinggirkan. Tukang becak, anak jalanan, anak sekolah, bahkan orangtua, semuanya menyatu dalam kemunduran nilai itu.
Yang menarik, meski penuturnya tahu arti kata tersebut, mereka tak sedikitpun canggung mengucapkannya di depan rekan-rekan ketika sedang berbaur dalam
canda. Dalam esai ini, Sundala’ tak ditelaah dari segi kesopanan tindak tutur, melainkan sebagai fenomenon unik di tengah stigma orang Mangkasarak yang
konon kasar—meski sebenarnya tak demikian.
Bersama dengan suntili’ dan sikulu’, sundala secara instan menjatuhkan harga diri pelakunya dan orang yang dituju. Ketika kata itu diucapkan, pada hakikatnya
subjek dan objek tuturan itu sama-sama jatuh harga dirinya sebagai manusia. DR. H.M. Laica Marzuki, S.H. dalam bukunya Siri’, menegaskan bahwa siri’ menjadi
etik pembeda antara manusia dan binatang. Binatang tak punya siri’ (malu) dan akal, sementara manusia memiliki keduanya, bahkan kemampuaan untuk merawat
dan mempertahankan kehormatannya.
Andaikata seseorang sudah dipakasiri’ (dipermalukan), maka dalam kepercayaan kita orang Bugis-Makassar, pelakunya sah ditumpahkan darahnya lewat hunusan
sebilah badik. Siri’ mewajibkan adanya tindak terhadap penyebab rasa malu, sepadan dengan tingkat rasa malu yang ditimbulkan walaupun tindakan itu biasanya
diasumsikan sebagai suatu kejahatan kriminal.
Bersama siri’ itu, kita juga mengenal istilah sipakainge’ sipakalebbi’, dan sipakatau. Masing-masing berarti saling mengingatkan, saling menghormati, dan
saling memanusiakan. Pada kenyataannya, nilai-nilai luhur ini semakin luntur dari nuansa kearifan lokal (local genious) kita.
Adalah menarik melihat pergeseran nilai itu di keseharian kita. Umpatan sundala’ tidak dibalas dengan badik melainkan dijawab dengan serapah serupa dan
diikuti gelagak tawa. Sungguh aneh.
Sebagaimana lumrah diketahui, tawa menjadi representasi kegembiraan atau suasana hati yang riang. Oleh karenanya, dalam kasus di atas, sundala’ telah melepaskan
diri dari maknanya. Sundala’ secara sosial telah beralih fungsi menjadi nomenklatur perekat ikatan dan penanda keakraban di antara kerumunan manusia yang
terlibat konteksnya.
Dengan keberadaan kata sundala’ di antara mereka, yang terjadi bukanlah keretakan sosial melainkan yang sebaliknya, kerekatan sosial. Kini, penggunaan
kata itu telah menjadi budaya tersendiri sehingga mustahil untuk dihilangkan. Kita tak bisa lagi berharap lebih jauh selain menghadirkan budaya yang bisa
menandinginya (counter culture) suatu hari nanti.
Namun satu sisi positif yang dapat ditarik dari pergeseran budaya ini adalah bahwa sundala’ tidak menambah kekacauan dan kekerasan horizontal yang nampak
begitu menyatu dengan keseharian kita. Kata ini maknanya sudah “dijinakkan”, dan dalam beberapa hal telah menjadi peredam konflik antar orang per orang
yang saling mengenal baik.
Di momen-momen peringatan hari bahasa yang jatuh pada bulan ini, setidak-tidaknya kita bisa lebih kritis dalam memaknai kebhinekaan. Jika ungkapan bermakna
buruk saja bisa meruangkan kebersamaan, bagaimana dengan bahasa-bahasa yang baik dan jauh lebih sopan?
jujur sudah lama sy cari
artikel tentang Sundalak, krn sy pernah ketemu seorang gadis yg mana gadis itu
memiliki Tato dipuggung belakang lehernya, saking penasaran sy dekati sambil
mengintip apa tulisan Tato itu, ternyata tulisannya adalah SUNDALISME. Masyaallah,
allahu akbar. Seorang gadis yang didampingi ibunya sedang berbelanja di sebuah
toko yang ramai mengumbar tulisan itu. sy sempat sedikit syok setelah melihat
itu, sambil bertanya dalam hati bahwa siapakah gadis itu, suku apa dan agama
apa? Adaka pemahamannya tentang kata kata itu, yang sepenuhnya kemuliaan itu
ada pd seorang Wanita.
jujur sy dan
keluargaku korban Kata kata sundalak + telang, sumpah demi Allah sy sakit hati
terhadap orang yg telah mengatakan seperti itu, dan sy hanya memohon semoga
orang orang yg menyatakan Sundalak baik sadar maupun tidak itu mendapatkan
perlindungan oleh Allah swt.
Sebelumnya, kita samakan persepsi dulu bahwa kata “sundala” yg dimaksud di sini adalah kata dalam bhs Makassar (salah satu kota di provinsi sulawesi selatan Negara Republik Indonesia). Karena kata itu juga bisa ditemukan dalam bahasa salah satu negara di Eropa (Ceko, kalo tidak salah), dan Makassar sendiri juga adalah kota yg bisa kita temukan di salah satu negara Afrika (Afrika Selatan, kalo tidak salah… lagi).
Baiklah, jika kita gugling kata “sundala”, kebanyakan tulisan menerjemahkannya sebagai ungkapan kotor yg berarti “anak haram” atau anak yg lahir tanpa ayah yg jelas. Di Makassar khususnya oleh kelompok sosial tertentu, kata ini sering dilontarkan sebagai senjata pengejek. Namun pada kasus yg lebih banyak kata ini sekedar difungsikan sebagai sisipan kalimat agar terdengar lebih keren dan gaul (menurut mereka).
Kata ini biasanya dilengkapkan dg menambahkan kata ana’ di depannya menjadi “Ana’ Sundala“. Mungkin dari sini pula org kemudian mengartikannya sebagai anak haram.
Sampai di sini terjemahan itu tampak sempurna. Tapi pada banyak kasus saya sering mendengar ibu-ibu di lorong bertengkar dg memanfaatkan kata itu dg menyandingkannya dg kata “baine” (perempuan) menjadi “Baine Pasundala”. misalanya pada kalimat: “Mentong kau baine pasundala”. Di sini, anak haram sebagai terjemahan kata sundala menjadi kurang cocok, karena frase “baine pasundala” akan ganjil jika diterjemahkan menjadi perempuan anak haram. Lebih cocok diartikan perempuan pembuat anak haram. Yang jika disederhanakan menjadi “pelacur”.
Jadi, menurut saya kata Sundala harusnya diartikan “pelacur”. Sehingga ketika disandingkan dg kata ana’ ataupun baine, akan memiliki arti yg pas.
http://jagyzhmoeh.wordpress.com/2012/09/13/arti-kata-sundala/
http://cadimira.wordpress.com/2010/04/07/sundala/
Sundala
Posted on April 7, 2010 by cadimira
Kata sundala berasal dari makassar,,,,,,,, kata itu merupakan
kata yang paling di benci oleh orng banyak Selama orang itu tahu
artinya……………….. Saya pernah bertemu dengan orang makassar pada saat
pertama kaliX pindah ke makassar………… Orang itu berbiCara Sundala pada
saya Tapi, Q ta’ tau artinya setelah saya cari tahu ternyata Arti dari
kata sundala yaitu : Anak yang lahir tanpa ayah Alias Anak haram…………..http://cadimira.wordpress.com/2010/04/07/sundala/
Rabu, 02 Mei 2012
penjelasan kata sundala
bagi orang makassar, sundala' itu adalah kata yang kasar, sangat
sensitif bila disebutkan. mereka yang tidak punya moral dan etika dalam
berbicara akan sering mengeluarkan kata ini dari mulutnya entah itu
menuju ke seseorang atau menuju ke situasi dan kondisi. sundala
merupakan kata julukan untuk orang yang lahir tanpa ayah/bapak. dalam
penjelasan ini bisa diartikan anak haram/anak pelacur jika itu menuju
keseseorang, dan juga berarti brengsek.
penjelasan lain mengatakan, Sundala' juga merupakan umpatan kejengkelan atau ketidaksenangan khas etnis Makassar. Kata ini dalam konteks budaya, dianggap sebagai kata - kata kotor, tidak beradab dan idealnya tidak pantas atau tidak boleh diungkapkan. jadi yg merasa tidak punya bapak, sopan-sopan sedikit kalo bicara nah..
penjelasan lain mengatakan, Sundala' juga merupakan umpatan kejengkelan atau ketidaksenangan khas etnis Makassar. Kata ini dalam konteks budaya, dianggap sebagai kata - kata kotor, tidak beradab dan idealnya tidak pantas atau tidak boleh diungkapkan. jadi yg merasa tidak punya bapak, sopan-sopan sedikit kalo bicara nah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar